Senin, 11 Februari 2013

Tirto, Sang Pemula yang Menggerakkan Bangsa Melalui Tulisan

Tirto, sang pemula yang menggerakkan bangsa melalui tulisan
Dalam buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, karya Takashi Shiraishi menyebut Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo sebagai bumi putera pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Disertasi Takashi Shiraishi itu juga menyebutkan kepiawaian dan ketajaman pikiran Tirto dalam setiap tulisannya. Takeshi menyebutnya sebagai perintis model perjuangan nasional modern, yakni lewat tulisan di koran dan organisasi.

Sedangkan menurut Iswara Noor Raditya Akbar penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan yang diterbitkan Indonesia Buku (2008) mengatakan, karir jurnalistik Tirto mulanya dimulai sebagai penulis lepas surat kabar Chabar Hindia Olanda, di Batavia yang terbit dalam kurun 1888-1897.

Chabar Hindia Olanda akhirnya bangkrut hingga Tirto pindah ke surat kabar terbitan berkala Pemberita Betawi yang juga terbit di Batavia. Dalam saat yang bersamaan, Tirto sempat menjadi penulis tetap dalam surat kabar Pewarta Priangan yang terbit di Bandung. Sampai Pewarta Priangan berhenti terbit akhirnya Tirto kembali ke Pemberita Betawi sebagai redaktur sejak 1902.

Menurut Iswara, Pemberita Betawi banyak mengangkat peristiwa yang menyangkut penderitaan rakyat Bumiputera. Dalam pandangan Iswara, Tirto menganggap jurnalis adalah pengawal pikiran umum. Setelah sekitar setahun di Pemberita Betawi, cakrawala pemikiran Tirto akan tanah kolonial semakin luas. Tirto saat itu sudah bisa menyimpulkan akan pola-pola penjajah di Hindia Belanda.

Bagi Tirto, ada dua golongan di Hindia Belanda, yakni golongan yang memerintah dan terprentah. Dalam kondisi seperti itu, golongan yang sering mendapat penindasan adalah golongan yang diperintah.

Dalam pandangan Iswara, saat itu Tirto sudah mulai melihat peluang pers sebagai alat perlawanan dan langkah awalnya harus memiliki penerbitan sendiri.

Tirto mendirikan koran sendiri dengan nama Soenda Berita yang terbit di Cianjur pada 7 Februari 1903. Dalam pendanaan Soenda Berita dibantu oleh Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja.

Dalam riset Iswara terhadap koran itu, tulisan Tirto memasuki berbagi sektor kehidupan. Kehidupan sehari-hari dijadikan bahan tulisan sekaligus untuk pencerahan nalar, mulai dari masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, ilmu pengetahuan.

Sastra juga dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengkritik pemerintahan. Salah satunya dengan menuliskan cerita pendek atau pewayangan diselipkan sindiran terhadap pejabat yang menindas. Tidak sampai di situ, saking bebasnya tema di koran itu, Soenda Berita juga menghadirkan tema keluarga, resep makanan, tips menjahit hingga menyulam dan urusan rumah tangga lainnya. Cukup banyak kalangan elite yang berlangganan Soenda Berita.

"Berpuluh bupati di Jawa dan Madura, berpuluh, ya beratus patih, jaksa-kepala, jaksa dan pembantunya, wedana dan asisten wedana, para hartawan Cina, tuan-tuan yang ternama ....," tulis Iswara dalam bukunya.

Meski dengan cara itu Soenda Berita tidak berjalan mulus dalam hitungan bisnis. Setelah sembilan bulan, Soenda Berita berhenti terbit selama tiga bulan akibat kesulitan keuangan karena banyak pelanggan yang menunggak. Meski begitu Tirto bukanlah tipikal sosok yang mudah yang menyerah.

Tirto memahami kerugian dari penerbitan pers yang didirikannya. Dia sepenuhnya sadar resiko menuruti idealismenya sebagai koran yang terus menyuarakan dan memajukan suara anak bangsa yang terprentah. Hingga akhirnya Soenda Berita bertahan hingga tiga tahun. Meski merugi, nama Tirto sudah kadung melambung tinggi melalui Soenda Berita.

Saat Soenda berita mengalami kerugian, Tirto Adhi Soerjo melakukan perjalanan panjang ke berbagai daerah. Iswara mencatat, Tirto juga menemui para raja-raja di Jawa dan Madura, juga menyambangi Maluku dan menemui Sultan Bacan, penguasa Pulau Bacan. Perjalanan itu berlangsung dalam kurun 1905-1906.

Setelah melakukan perjalanan dan kembali ke Jawa, Tirto memboyong Putri Fatimah, Putri Sultan Bacan sebagai istrinya. Dari sinilah Tirto kembali bangkit dengan modal yang didapatkan setelah melakukan perjalanan untuk menerbitkan koran lagi.

Iswara menuturkan, setelah Soenda Berita tidak terbit lagi, akhirnya Tirto menerbitkan koran baru yang dinamai Medan Prijaji. Koran itu terbit pada 1 Januari 1907. Awal kemunculan koran itu mulanya terbit mingguan dan koran itu sangat istimewa bagi Tirto dalam kelanjutan.

Melalui Medan Prijaji, Tirto tidak main-main akan arah pemberitaan medianya. Bila Soenda Berita seperti kumpulan kegelisahan intelektualnya atas segala bidang kehidupan, maka Medan Prijaji diposisikan penjaga suara anak negeri. Menurut Iswara Medan Prijaji adalah medan sesungguhnya Tirto untuk pembela mereka yang tertindas.

Pemberitaannya tidak main-main. Medan Prijaji memberlakukan pelaporan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh aparat kolonial atau pihak lain. Jika sudah ada yang melapor, Tirto akan segera menindaklanjuti laporan itu dengan mencari tahu masalah dengan langsung turun ke bawah untuk mengumpulkan data dan informasi. Sampai pada tulisannya Tirto langsung menunjuk siapa pihak yang menindas.

Tidak sampai di situ, bersama Medan Prijaji, Tirto memiliki badan perlindungan hukum yang selalu siaga untuk melakukan pembelaan bila kasus-kasus itu sampai ke pengadilan.

Setelah terbitnya Medan Prijaji, tak lama kemudian, Tirto kembali juga menerbitkan Soeloeh Keadilan. Kemudian pada 1908 Medan Prijaji sudah berbentuk perusahaan dagang berbadan hukum dengan nama Naamloze Vennotschap (NV) Medan Prijaji.

Semakin pesatnya perkembangan bisnis medianya, Tirto tidak melupakan cita-citanya untuk membela yang tertindas. Kali ini ranahnya lebih spesifik untuk gerakan emansipasi wanita dengan menerbitkan Poetri Hindia. Poetri Hindia dikelola oleh kaum perempuan dalam keredaksiannya saat itu.


Sumber: Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar