Senin, 11 Februari 2013

Pramoedya Ananta Toer Dari Wikiquote Indonesia, koleksi kutipan bebas berbahasa Indonesia.

Kutipan otentik

  • Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah. (Nama Saya Tidak Pernah Kotor. Jawa Pos, 18 April 1999)
  • Saya tutup buku dengan kekuasaan. Mereka selalu bilang, kami tutup buku dengan napol/tapol, nah saya juga bilang begitu, tutup buku dengan kekuasaan. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
  • Saya ini kagum kepada Bung Karno. Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
  • Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan. (Rasialisme Anti-Tiong Hoa dan Percobaan Menjawabnya: 22 Oktober 1998)
  • Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. (Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher: Jakarta, 5 Maret 1985)
  • Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. (Saya tidak Pernah Jadi Budak”: Tempo NO. 04/XXVIII/30 Mar - 5 April 1999)

Tetralogi Buru

Bumi Manusia

Bumimanusia.jpg
  • "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri " (Mama/Nyai Ontosoroh, hal 39)
  • "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. (Jean Marais, hal 52)
  • "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. (Jean Marais, 55)
  • "Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit. (Jean Marais, 55)
  • "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. (Jean Marais, 60)
  • "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. (Mama, 73)
  • "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. (Mama, 119)
  • "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. (Mama, 120)
  • "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . (Minke, 135)
  • "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. (Bunda, 138)
  • "Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. (Jean Marais, 203)
  • "Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. (Miriam de la Croix, 212)
  • "Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan. (Miriam de la Croix, 213)
  • "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Magda Peters, 233)
  • "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. (Magda Peters, 233)
  • "Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang. (Jean Marais, 250)
  • "Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. (Dr. Martinet, 279)

Anak Semua Bangsa

Anaksemuabangsa.jpg
  • "Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. (Mama, 4)
  • "Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. (Mama, 20)
  • "Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (Panji Darman/Jan Dapperste, 33)
  • "Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (Jean Marais, 55)
  • "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran? (Jean Marais, 59)
  • "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya. (Mama, 77)
  • "Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah. (Mama, 79)
  • "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (Mama, 83)
  • "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)
  • "Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (Khouw Ah Soe, 90)
  • "Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. (Robert Suurhorf, 98)
  • "Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal. (Miriam de La Croix, 107)
  • "Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan. (Minke, 114)
  • "Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. (Kommer, 119)
  • "Kartini pernah mengatakan : mengarang adalah bekerja untuk keabadian. (Kommer, 121)
  • "Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. (Kommer, 199)
  • "Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. (Kommer, 199)
  • "Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia. (Kommer, 204)
  • "Revolusi Perancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat. Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata...(Kommer, 204)
  • "Orang rakus harta benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi yang hanya dalam cerita tertulis. (Mama, 382)
  • "semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. (Kommer, 390)
  • "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. (Kommer, 390)

Jejak Langkah

Jejaklangkah.jpg
  • "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (Minke, 2)
  • "Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)
  • "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (Bunda/Minke, 46)
  • "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (Bunda, 65)
  • "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (Minke, 82)
  • "Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (Minke, 113)
  • "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (Minke, 113)
  • "Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (Minke, 163)
  • "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)
  • "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (203, Minke)
  • "Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (Van Heutsz, 264)
  • "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (Raden Tomo, 277)
  • "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (Frischboten, 291)
  • "Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (Minke, 339)
  • "Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (Minke, 394)
  • "Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (Minke, 430)
  • "Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (Minke, 442)


Rumah Kaca

Rumahkaca.jpg
  • "Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pangemanann, 38)
  • "Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya. (Pangemanann, 39)
  • "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. (Pangemanann, 46)
  • "Orang begitu tabah menghadapi kehilangan kebebasannya, akan tabah juga kehilangan segala-galanya yang masih tersisa. (Pangemanann, 53)
  • "Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang manusia setengik-tengiknya. (Pangemanann, 73)
  • "...soalnya memang kertas-kertas yang lebih bisa dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri. (Tuan L, 92)
  • "Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)
  • "...dan apalah artinya kebahagiaan kalau bukan rangkaian kesenangan detik demi detik tanpa nurani berjingkrak-jingkrak menggugat. (Pangemanann, 141)
  • "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)
  • "Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pangemanann, 409)
  • "Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke, 420)
  • "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia. (Minke, 436)
  • "Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali. (Pangemanann, 443)
  • "Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut. (Pangemanann, 443)
  • "Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut. (Pangemanann, 460)
  •  
  •  
  • Sumber: Wikiquote

Aher-Deddy Janjikan 10 Hal


KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
 Ahmad Heryawan

 
 
 
BANDUNG, KOMPAS.com — Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat periode 2013-2018, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar, menjanjikan 10 hal jika terpilih dalam Pilkada Jawa Barat 2013. Keduanya merasa optimistis dapat memenuhi komitmen yang menjadi targetnya dalam membangun Jabar.

Saat menyampaikan visi-misi dalam Rapat Paripurna istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat di Bandung, Kamis (7/2/2013), Heryawan menjanjikan dua juta lapangan kerja baru dan mencetak 1.000 wirausaha baru. Mereka juga akan menggratiskan biaya pendidikan mulai dari SD hingga SLTA serta menyediakan beasiswa untuk pemuda, tenaga medis, keluarga atlet berprestasi, dan guru.

"Kami akan menggratiskan SPP SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, serta membangun 20.000 ruang kelas baru," kata Deddy.

Di bidang olahraga, Aher-Deddy berjanji membangun stadion olahraga di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Pasangan itu juga berkomitmen membangun pusat seni dan budaya di setiap kabupaten/kota serta menyediakan dana sebesar Rp 4 triliun untuk infrastruktur pedesaan.

Komitmen lainnya berupa revitalisasi 50.000 posyandu dan dana insentif kader posyandu, rehabilitasi 100.000 rumah rakyat miskin, dan memberikan dana bantuan pembangunan infrastruktur desa senilai Rp 100 juta per desa per tahun. Dana itu akan diberikan kepada 5.304 desa di Jabar. "Kami yakin, kami optimis target itu bisa tercapai," kata Heryawan.


Sumber: Kompas.com

Dikdik-Toyib Merasa Diremehkan Survei


KOMPAS/ANTONY LEE
Calon Gubernur Jabar dari jalur perseorangan, Dikdik Mulyana Arief dalam kampanye terbuka di Bogor, Jumat (8/2/2013).

 
 
KUNINGAN, KOMPAS.com - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat Dikdik Mulyana Arief dan Cecep Nana Suryana Toyib merasa diremehkan karena berbagai survei menempatkan pasangan ini pada urutan terakhir dalam popularitas dan tingkat keterpilihan. Namun, mereka meyakini bisa meraup suara dari pemilih mengambang dan kelompok masyarakat yang kecewa pada partai politik.

Hal itu dikatakan Toyib di sela-sela kampanye di Pasar Cilimus, Kabupaten Kuningan, Senin (11/2/2013). Berbagai survei itu menunjukkan ada 80 persen massa di Jabar yang belum menentukan pilihan atau masih mengambang. ”Pasar ini masih luas untuk digarap calon perseorangan,” kata Toyib yang juga mantan Bupati Indramayu.

Selain itu, berbagai kasus korupsi yang menerpa kader parpol, menurut Toyib, juga menjadi salah satu pemicu kekecewaan masyarakat terhadap calon dari parpol. ”Pimpinan dari parpol sudah diberi kesempatan oleh rakyat dan ternyata banyak kasus yang menimpa mereka. Sekarang yang belum diberi giliran itu calon perseorangan,” katanya.

Di Garut, perajin kulit di Sukaregang mengharapkan bantuan instalasi pengolahan limbah terpadu. ”Perajin masih kesulitan membuang limbah bekas pencucian kulit. Beberapa perajin masih membuang ke Sungai Cimanuk,” ujar Jajang, perajin kulit Sukaregang, saat cagub Dede Yusuf mengunjungi sentra kerajinan kulit terbesar di Jabar itu.

Dede berjanji jika terpilih akan membantu menyediakan alat instalasi pengolahan limbah bagi perajin kulit di Sukaregang. Di satu sisi, kerajinan kulit menjadi tumpuan mata pencarian masyarakat, tapi jika limbahnya dibuang sembarangan akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam kunjungan kerja ke Tasikmalaya, Ketua Umum PKB yang juga Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan mendukung Dede Yusuf sebagai cagub Jabar.

Kesejahteraan buruh

Di Cimahi, para buruh mendambakan gubernur Jabar yang dapat meningkatkan kesejahteraan buruh. Mereka juga menginginkan penghapusan sistem kerja kontrak dan alih daya. Hal itu disampaikan saat menyambut kedatangan calon gubernur Jabar dari PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, Senin. ”Jika sistem kerja kontrak dihapus, mungkin saya sudah bisa menjadi karyawan tetap,” kata Nanung (34), buruh kontrak.

Rieke mengatakan, sistem kerja kontrak harus dihapus. Sementara untuk alih daya, hanya berlaku bagi kerja sampingan, bukan pekerjaan inti. ”Tak boleh ada tenaga outsourcing (alih daya) yang tak sesuai dengan undang-undang,” ujarnya.

Cagub Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, pihaknya berkomitmen menciptakan dua juta kursi lapangan kerja. Komitmen ini diutarakan saat berkampanye di hadapan sekitar 3.000 pekerja PT Baju Indah Indonesia di Kelurahan Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi, Senin.

”Saya berani menetapkan komitmen dua juta lapangan kerja karena selama hampir lima tahun memimpin Jabar berhasil membuka 1,8 juta. Insya Allah untuk periode lima tahun mendatang, saya dengan Kang Deddy Mizwar mampu menciptakan paling sedikit dua juta lapangan kerja,” ujar Heryawan.

Kampanye hitam yang menyudutkan calon mulai terjadi pada hari kelima masa kampanye Pilkada Jabar. Ketua Panwaslu Jawa Barat Ihat Subihat mengemukakan hal itu terkait penyelenggaraan bedah buku ”Dari Sajadah Hingga Haram Jadah Praktik Politik Gubernur Ahmad Heryawan (2013)” yang digelar di Gedung Indonesia 99, Jalan Kejaksaan, Bandung. Acara digelar Indonesia 99 DPW Jabar. Mohamad Barli, Sekjen Indonesia 99, mengemukakan, bedah buku itu forum ilmiah.(REK/CHE/SEM/MHF/NIK/HEI/DMU)


Sumber: Kompas

Dede Yusuf Konvoi Keliling Garut



KRISTIANTO PURNOMO
Calon Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf 
 
 
GARUT, KOMPAS.com - Calon Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf melakukan kampanye dengan konvoi menyusuri sejumlah ruas jalan di kawasan kota di Kabupaten Garut, Senin (11/2/2013). Dede beserta rombongannya menggunakan bus diikuti puluhan mobil pendukungnya bergambar dan bertuliskan Dede Yusuf - Lex Laksamana (calon wakil gubernur).

Atribut pengusung utama Partai Politik Demokrat yang identik dengan warna biru mewarnai semua kendaraan para pesertai konvoi. Kedatangan pasangan calon nomor urut 3 itu disambut meriah masyarakat Garut.

Selain menggelar kampanye konvoi, Dede bersama Lex menemui masyarakat di kawasan pedagang kaki lima Jalan Ahmad Yani. Selanjutnya, Dede mengunjungi Pasar Mandalagiri dan menyapa serta bersalaman dengan masyarakat, kemudian mendatangi kawasan pusat perbelanjaan Garut Plaza.

Dalam kunjungannya itu, Dede disambut meriah oleh warga Garut yang kebanyakan kaum perempuan hanya sekedar bersalaman atau foto bersama. Kampanye dengan konvoi kendaraan itu menyebabkan kemacetan di kawasan Jalan Ahmad Yani, Jalan Ciwalen, Jalan Guntur dan sejumlah ruas jalan kota Garut lainnya yang didatangi pasangan calon gubernur itu.

Di sela-sela kunjungan di Garut Plaza, Dede meminta dukungan kepada seluruh warga Garut dalam pencalonannya menjadi pemimpin di Jawa Barat. "Kami minta doa dan dukungannya, dan jangan lupa untuk memilih," kata Dede yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur.

Sementara itu, Lex mengajak masyarakat Garut untuk bersama-sama membangun Jawa Barat menjadi lebih baik. "Kita bersama-sama bebarengan dengan warga Garut untuk menjabarkan apa yang diperlukan masyarakat," kata Lex.


Sumber: Kompas.com

Menengok Sisa-sisa Kejayaan Medan Prijaji di Bandung


Menengok sisa-sisa kejayaan Medan Prijaji di Bandung 
Kantor Medan Prijaji kini. 


Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) merupakan sebuah bangunan bersejarah di kota Bandung. Berletak di Jalan Naripan nomor 7 Bandung, Gedung yang didominasi warna merah muda ini berfungsi sebagai tempat pergelaran pertunjukan seni dan budaya.

Dari masa ke masanya bangunan seluas 2000 meter persegi ini tidak pernah sepi dari aktivitas. Siapa menyangka, Gedung yang dibangun pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ini adalah cikal bakal keberadaan surat kabar pribumi.

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo pelakunya. Dengan bermodalkan bakat jurnalistik yang luar biasa Tirto mendirikan media 'Medan Prijaji' pada 1907 sebagai surat kabar nasional pertama dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi.

Tirto juga mendirikan soeoleoh keadilan dan putri hindia (1909). Media masa saat penjajahan kolonial umumnya mengutip berita politik pemerintah dari koran Belanda atau akrab disapa 'pers putih', namun tidak dengan media Tirto.

Dengan bakatnya dan jaringan yang cukup baik, medianya kala itu mengkritisi dan kebijakan kolonial yang semena-mena. Seperti memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi. Hal itulah yang dianggap bahaya oleh pemerintah Belanda.

Akibatnya Tirto kerap diteror bahkan mendapat hukuman. Pada 1912 Medan Prijaji runtuh.
Gedung tersebut tak semata melupakan sejarah Tirto yang memperjuangkan propaganda kepentingan bangsa.

Paling tidak hingga 1980 gedung yang sudah dijadikan bangunan cagar budaya ini masih kental dengan jurnalistik. Meski pada perkembangannya sempat juga berfungsi sebagai gedung Balai Pertemuan yang bernama Ons Genoegen.

"Dulu waktu saya masih belajar nari, akhir 1970 an masih banyak wartawan yang datang atau sebatas sharing sambil membawa mesin tik," kata staf YPK Lenni Mulyawati.

Namun itu tidak berlangsung hingga dewasa ini. Gedung YPK kini murni menjadi gedung pusat kebudayaan dan kesenian. Aktivitasnya hanya digunakan untuk para perupa.

Penelusuran merdeka.com, gedung yang memiliki luas tanah 2.955 m2 itu masih tampak kokoh. Kontur bangunan tampak asli. Lekukan dari ruang ke ruang mirip bangunan zaman Belanda.

Saat hendak masuk di muka atas bertuliskan Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, menjajakan langkah pertama kita langsung dipertemukan dengan aula besar, yang biasanya digunakan aktifitas latihan menari, kecapian, atau pameran. Ada juga aula besar satunya lagi, ini digunakan untuk pertunjukan.

"Karena ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga apapun jika ingin diperbaiki tidak boleh merubah bentuk aslinya," ujarnya.

Semula kata dia, gedung tak miliki pembatas, namun kini disekat untuk dijadikan ruangan per ruangan. Fungsinya untuk kebutuhan pengelola. "Ada ruangan untuk ketua, sekretaris dan ruangan lainnya," ujarnya.

Status Gedung YPK ini sekarang adalah milik negara, tapi hak penghunian adalah YPK. Sejak ditetapkan sebagai gedung kesenian pada 1949, gedung ini banyak menelurkan para seniman berprestasi.

Tidak sedikit seniman 'berumah' di YPK menunjukkan prestasi, seperti Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya.

Pembenahan demi pembenahan dilakukan. Maklum gedung ini sudah cukup tua. Tahun 1976 penataan kembali ditingkatkan, secara bertahap dengan dana seadanya pengelola tak mau gedung ini terbengkalai.

Tidak sedikit dana yang dikeluarkan itu berasal dari kantong para aktivis pengurus YPK. Perjuangan paling berat adalah ketika memperjuangkan ruangan-ruangan yang akan dipergunakan oleh badan-badan lain agar tetap dipertahankan.

Dengan lokasi strategis di Kota Bandung, banyak yang ingin meruntuhkan gedung ini. Ada yang menginginkan untuk merubah jadi apartemen dan fungsi komersil lainnya.

Galaknya Medan Prijaji Bikin Belanda Moentah Darah


Galaknya Medan Prijaji bikin Belanda moentah darah
Kategori Peristiwa
Berita tag terkait {title} {title}

Tirto Adhie Soerjo. ©2013 Merdeka.com
4
 


Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Prijaji bulan Januari 1907. Medan Prijaji adalah surat kabar pertama milik pribumi yang dikelola pribumi dan mulai menjadikan pers sebagai alat politik dan kesadaran berbangsa.

Medan Prijaji mengusung motto suara bagi mereka semua yang terprentah. Atau untuk semua yang terjajah. Arti kata Medan Prijaji adalah arena para priyayi, alias kaum kelas menengah yang saat itu terdiri dari para bangsawan, pegawai pemerintahan, dan kaum intelektual. Tirto yakin kaum menengah di Hindia Belanda lah yang bisa mengubah kondisi.

Tulisan Tirto galak mengkritisi kelicikan kolonial Belanda. Karena itu Ki Hajar Dewantara menyebutnya jurnalis modern berpena tajam. Sementara itu murid Tirto, Mas Marco Kartodikromo menyebut tulisan Tirto kerap membuat panik pejabat kolonial.

"Raden MA Tirto Hadi Soerjo, joega seorang bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran. Boemipoetra jang pertama kali mendjabat journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenja penna. Banjak pembesar-pembesar jang kena kritiknya djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki kelakoeannja, jang koerang sopan," tulis Marco sebagai obituari kematian Tirto. Tulisan ini dimuat dalam Djawi Hiswara terbitan 13 Desember 1918.

Tulisan Tirto yang memotret ketidakadilan di antaranya 'Betapa Satu Pertolongan Diartikan'. Artikel ini menyoroti Aspiran Kontrolir A Simon dan Wedana Cangkrep Purworejo. Kasusnya, ada pemilihan lurah di Desa Bapangan, tetapi karena konspirasi kedua orang ini justru calon yang mendapat suara terbanyak dikriminalisasi dan dihukum. Dipilihlah saingannya yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari rakyat.

Tirto marah luar biasa mendengar itu. Dia menyebut A Simon sebagai monyet ingusan. Medan Prijaji digugat dalam kasus ini. Demikian ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku 'Sang Pemula'.

Lalu ada kritik Tirto soal penyalahgunaan wewenang Bupati Rembang Raden Adipati Djojodiningrat dan patihnya Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi Bupati Tuban.

Tirto juga menyerang Gubernur Jenderal Idenburg yang melayat Djojodiningrat dengan menyewa iring-iringan 60 taksi. Tirto menyebut ini sebagai pemborosan uang rakyat.

Dia menulis para kepala desa yang memeras rakyatnya di Banten. Memungut pajak seenaknya tanpa aturan. Dalam tulisan yang diterbitkan Medan Prijaji tahun 1909 Tirto menonjok para birokrat kecil di pedesaan.

Seorang Lurah bernama Nada kerap melakukan korupsi. Mulai dari biaya pembangunan balai desa, kambing kurban, hingga uang warisan. Nada lolos dari jerat hukum, dia malah pergi ke Makkah untuk menyuci dosa. Pada masa itu memang ada kepercayaan orang berdosa bisa menghilangkan dosa jika pergi ke tanah suci.

"Untung benar kang Nada si kejam itu, bisa cuci dosanya ke Makkah dan tidak dituntut di muka hakim," geram Tirto.

Cicit Tirto Adhi Soerjo, Okky Tirto yang seorang jurnalis dan peneliti sejarah menjelaskan Medan Prijaji tak cuma menghajar Belanda. Jika ada borjuis-borjuis kecil yang merugikan rakyat, maka tetap akan dihajar. Sesuai dengan motto Medan Prijaji, suara bagi mereka yang terprentah atau yang terjajah.

Tentu saja pemerintah kolonial Belanda tidak begitu saja membiarkan sepak terjang Tirto. Dua kali Tirto ditangkap dan dibuang. Pertama Tirto dibuang ke Telukbetung, Lampung tahun 1910.

Tirto juga dihadapkan ke pengadilan dengan tudingan menghina gubernur jenderal dengan berita iring-iringan taksi. Tanggal 22 Agustus 1912, Tirto diputus bersalah. Dia dihukum empat bulan ke pembuangan, Medan Prijaji pun dinyatakan dibredel.

Tak hanya itu, seluruh kekayaan Tirto dan modalnya pun dilikuidasi pemerintah Belanda. Desember 1915, Tirto berangkat ke pembuangan di Ambon dengan putus asa. Berakhir sudah karir sang pelopor pers perlawanan ini.


Sumber: Merdeka.com

Jurnalis Berani dalam Cengkraman Intelijen Belanda


Jurnalis berani dalam cengkraman intelijen Belanda
Tirto Adhie Soerjo. 



Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo sadar betul menggunakan media sebagai corong suara rakyat. Dalam kondisi terjajah dia tidak gentar dengan resiko yang dihadapi atas tulisannya. Mulai dari dibuang, diasingkan, hingga dimiskinkan, hingga dalam pemakamannya tanpa iringan dan pemberitaan besar.

Menurut Iswara Noor Raditya Akbar penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, yang diterbitkan Indonesia Buku (2008), apa yang dilakukan Tirto melalui kritik dan pemberitaan-pemberitaannya yang membuat merah kuping pejabat kolonial dilakukan dengan sadar.

Iswara mencontohkan yang dikutipkan dari bukunya, pada November 1902, melalui Pembrita Betawi, Tirto menggilas persekongkolan pejabat di Madiun. JJ Donner, Residen Madiun, merasa terganggu dengan Brotodiningrat, Bupati Madiun yang membuat keinginan tidak terpenuhi. Akhirnya Donner berkonspirasi membuat laporan palsu untuk melengserkannya. Donner bekerjasama dengan Mangoen Atmodjo, Patih Madiun dan Jaksa Kepala Madiun Adipoetro.

"Tirto tidak tinggal diam, lantas mengumpulkan data tentang ketidakbenaran laporan Donner. Kepalan tulisan Tirto di Pembrita Betawi muncul secara kontinyu dari April hingga Agustus 1902," tulis Iswara dalam bukunya.

Dalam kelanjutan pemberitaan itu ternyata mendapat perhatian publik. Tidak sampai di situ, pemerintah kolonial juga serius mengikuti pemberitaan itu. Bahkan dalam riset Iswara, pemerintah kolonial sampai perlu untuk menurunkan petugas khusus bagian Penasihat Urusan Bumiputera, Snouck Hurgronje, untuk kembali memeriksa kasus itu.

Dalam penjelasan Iswara, setelah kasus itu diperiksa kembali, ternyata data-data pemberitaan Tirto tidak ada yang salah. Sampai akhirnya pemerintah kolonial mengklarifikasi keputusan, bahwa Brotodiningrat adalah korban salah tafsir. Dengan akurasi pemberitaan atas kasus itu nama Tirto mencuat sebagai pewarta yang berani.

Dengan reputasi dan keberanian ditambah dengan kemampuannya dalam menulis membuatnya bisa dekat dengan siapa saja, termasuk dengan pejabat kolonial sendiri. Bahkan Tirto akrab dengan Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz yang memerintah pada 1904-1909.

Berteman dengan orang nomor satu di Hindia Belanda tentu memiliki keistimewaan tersendiri. Menurut Okky Tirto, salah satu cicit Tirto menjelaskan, dengan keistimewaan itu Tirto dengan bebas keluar masuk Gedung Bola (Societeit de Harmonie), tempat hiburan favorit pejabat kolonial kala itu.

"Gedung Bola itu tempat main biliar, tidak sembarang orang bisa masuk saat itu. Gedungnya yang menjadi kantor sekretariat negara," kata Okky saat ditemui merdeka.com pada Rabu (06/2) malam.

Okky yang membahas juga Medan Prijaji dalam skripsinya di program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta menilai kedekatan itu Tirto dengan van Heutsz karena keduanya sama-sama pencinta ilmu pengetahuan terutama dengan kemunculan renaisans atau modernisme di Eropa.

Van Heutsz tidak lama menjabat di Hindia Belanda. Setelah masa jabatan selesai dia digantikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Sosok yang kemudian jengah dengan pemberitaan-pemberitaan Tirto melalui Medan Prijaji dan media lainnya. Bahkan saking takutnya Idenburg perlu memerintahkan intelijen khusus untuk mengawasi Tirto.

Dalam catatan Iswara, pemerintah kolonial di masa Idenburg seperti ekstra dalam mengawasi gerak gerik Tirto. Staf khusus yang terus mengawasi Tirto adalah Rinkes, seorang staf khusus penasihat urusan bumiputera yang pernah dijabat Snouck Hurgronje. Hal yang berbeda dari penugasan Rinkes dengan Snouck Hugronje adalah, Rinkes hanya ditugaskan secara khusus menangani Tirto sedangkan Snouck mengawasi masyarakat Aceh.

Setelah melalui berbagai cara dilakukan pejabat kolonial melalui Rinkes, akhirnya Tirto berhasil dibungkam dengan cara difitnah dan dibawa ke pengadilan. Kemudian setelah itu dibuang ke Ambon. Iswara mencatat, pada awal 1914, Tirto kembali ke Batavia, namun dalam kondisi dikontrol dan ditumbangkan.

Okky juga selaras dengan isi riset dalam buku Iswara, setelah dibuang Tirto dibungkam dengan berbagai cara. Mulai dimiskinkan dengan mengambil semua aset-aset perusahaannya dan tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa pun.

"Hotel Medan Prijaji miliknya sendiri pun diambil orang lain dan dia dikurung dalam salah satu kamar di dalamnya, bisa dibayangkan bagaimana kondisi orang seperti itu," ujar Okky lebih lanjut.

Dalam menjelaskan penumbangan mental Tirto itu, Okky menjelaskannya seperti Bung Karno yang disekap dalam rumahnya dan tidak bisa ditemui siapa pun, bahkan oleh keluarganya sekali pun. Selain itu Okky memberitahukan lokasi hotel milik Tirto saat itu adalah yang sekarang menjadi kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Pada 7 Desember 1918, dalam catatan Iswara dan Muhidin M Dahlan dalam epilog buku itu menyebutkan, hanya iringan kecil mengantarkan jasad Tirto menuju pemakamannya di daerah Mangga Dua. Tidak ada pidato sambutan atau pemberitaan besar seperti yang dia lakukan dalam hari pemakamannya.

Baru pada 1973 pemerintah Orde Baru menganugerahinya gelar sebagai perintis pers Indonesia. Kemudian pada 2007 kembali ditegaskan Tirto sebagai pahlawan nasional. Kini pusara makamnya berada di kawasan Belender Bogor.


Sumber: Merdeka.com

Tirto Adhi Soerjo, Sang Perintis Pers Pribumi yang Terlupakan


Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers pribumi yang terlupakan
 
 
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sang pemula. Ki Hajar Dewantara menyebutnya jurnalis berpena tajam. Sementara intelijen Belanda menyebutnya orang paling berbahaya di awal kebangkitan pribumi.

Sayang, selama puluhan tahun jasanya dilupakan bangsanya sendiri. Di buku-buku sejarah, tulisan tentang sosoknya hanya satu atau dua baris. Itu pun sekadar pelengkap, bukan pelaku utama.

Tak banyak yang mengenal nama Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers Indonesia. Tirto lahir tahun 1880 dengan nama Djokomono. Dia sempat belajar di Sekolah Kedokteran Hindia STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia. Hanya empat tahun dan di-drop out karena lebih banyak mengurusi jurnalistik dan menulis di media massa.

Tirto adalah orang pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar. Bukan sekadar surat kabar, Medan Prijaji yang terbit tahun 1907 secara jelas menyatakan sikap membela mereka yang terjajah.

Tirto juga mungkin yang pertama kali bicara sebuah nation. Sebuah bangsa. Bukan sekadar Jawa, Sumatera, Borneo, Ambon dan lain-lain. Di awal abad 20, Tirto menyebutnya sebagai bangsa yang teprentah. Bangsa besar di Hindia Belanda yang saat ini sedang dijajah.

Dua tahun sebelum Budi Utomo berdiri tahun 1908, Tirto lebih dulu mendirikan Sarikat Prijaji. Organisasi pribumi pertama. Tapi entah kenapa Budi Utomo yang kemudian dituliskan sebagai organisasi pertama sekaligus menjadi tahun kebangkitan nasional? Bukan 1906 dengan Sarikat Prijaji?

Tirto pula yang mendirikan Sarikat Dagang Islam, lalu berubah nama menjadi Sarikat Islam. Bukan Haji Samanhudi. Justru Tirto lah yang melantik Samanhudi untuk memimpin SDI.

Bukan itu saja, Tirto juga seharusnya dicatat sebagai pelopor pendirian perseroan terbatas alias PT milik pribumi dengan NV Medan Prijaji. Dia juga yang bertekad memerangi monopoli para pedagang China.

Tirto juga yang menjadi motor pertama pergerakan wanita. Dia mendirikan majalah Poetri Hindia 1 Juli 1908. Lewat media inilah wanita pribumi bisa menulis ide-ide mereka. Bahkan ibu suri kerajaan Belanda memberikan apresiasi dan penghargaan Poetri Hindia sebagai pelopor media wanita pribumi.

Selain itu Tirto juga menjadi pelopor pemberian bantuan hukum. Dia membela rakyat jelata yang berhadapan dengan hukum kolonial.

Nasib Tirto tak semanis mimpinya untuk 'bangsa yang teprentah' yang kini menjadi Indonesia. Perjuangannya dipatahkan intelijen Belanda yang sistematis menggerogoti nasibnya.

Tirto meninggal dalam kesendirian, dalam sepi dan dalam kegagalan. Terkalahkan tembok tinggi bernama kolonialisme dan sistemnya.

Memperingati hari pers, merdeka.com mencoba menghadirkan kembali sosok luar biasa ini untuk dikenang dan diteladani. Termasuk menjawab benarkah peran Tirto dikecilkan Orde Baru karena dicap komunis.

Pilihan penulisan tokoh pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo dalam peringatan hari pers tahun ini bukan berarti mengecilkan peran tokoh-tokoh yang lainnya. Serial ulasan Tirto Adhi Soerjo kali ini, tidak juga diniatkan untuk mengkerdilkan peran media-media yang lebih dulu ada sebelum Tirto Adhi Soerjo dan media-media yang digawanginya. Sama sekali tidak.

Bagi merdeka.com, tinggal menunggu waktu saja untuk mengulas tokoh-tokoh pers yang lain dan media pers yang lain tentu memberikan kontribusi dalam menyemai semangat kebangsaan dan media konsisten menjadi corong suara rakyat pada zamannya.

Tiap tokoh pers memiliki peran dan memiliki kapasistasnya masing-masing dalam mendidik pembaca dengan pemberitaannya. Baik itu yang berada di pulau Sumatra, Sulawesi, Jawa, atau pulau-pulau yang lainnya, bahkan media yang terbit di luar Nusantara, namun tetap membangun semangat kebangsaan memalui bahasa melayu yang kini menjadi bahasa Indonesia.

Maka haturkan kami mengantarkan sosok Tirto Adhi Soerjo kepada pembaca sekalian.


Sumber: Merdeka.com

Annelies-Minke, fantasi Pramoedya tentang Tirto Adhi Soerjo


Annelies-Minke, fantasi Pramoedya tentang Tirto Adhi SoerjoT
Tetralogi Buru. 


Boleh jadi Pramoedya Ananta Toer, akrab dipanggil Pram, adalah salah satu sastrawan Indonesia yang paling berhasil menghidupkan kisah seorang tokoh nyata ke dalam roman bertema sejarah. Dalam karya novel fenomenalnya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Pram mengangkat sepak terjang tokoh kelahiran Blora, Jawa Tengah, yang digelari Bapak Pers Nasional, yaitu Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (1880-1918).

Dalam kisah yang dibuatnya pada masa pengasingan di Pulau Buru (1969-1979) itu, Pram menghidupkan sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dalam pribadi tokoh bernama Minke.

Meski sebagai putra seorang bangsawan Jawa, sosok Minke digambarkan Pram sebagai tokoh yang merangkak dari bawah untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya di hadapan penjajah Belanda.

Pada Bumi Manusia, Pram menggambarkan awal kisah cinta dramatis Minke dengan Annelies, Bunga Akhir Abad, seorang peranakan Belanda dengan pribumi bernama Sanikem yang kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh. Sosok Nyai Ontosoroh yang tegar dan lebih terpelajar ketimbang orang Belanda kemudian menjadi guru panutan Minke di kemudian hari.

Diawali dengan mengeyam pendidikan di sekolah Belanda HBS, Minke kemudian masuk sekolah kedokteran STOVIA di Batavia, dia kemudian lebih senang dengan dunia tulis-menulis sehingga pendidikannya terbengkalai dan dia dikeluarkan dari sekolah kedokterannya.

Pada awal kiprahnya menulis untuk surat kabar, Minke menulis dalam bahasa Belanda, bahasa penjajah yang ketika itu hanya mampu dibaca oleh golongan atas terpelajar, bukan masyarakat kelas bawah, pribumi.

Hingga akhirnya suatu kali dalam Anak Semua Bangsa, Minke diperingatkan oleh sahabatnya seorang pelukis Prancis mantan tentara berkaki buntung, Jean Marais. Dia mengatakan bahasa Melayu lebih banyak dipergunakan di Hindia Belanda ketika itu ketimbang bahasa Belanda.

"Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. Kau tak kenal bangsamu sendiri," kata Jean Marais.

Sebuah dakwaan yang menyakitkan bagi Minke, sekaligus membangkitkan didih semangat. Kata-kata itu kemudian selalu terngiang di kepalanya.

Orang bilang, ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Sejak saat itu Minke tahu benar akan tujuan hidupnya dan bertekad menyadarkan masyarakat bangsanya dengan menulis dalam bahasa Melayu. Dia bahkan dikisahkan belajar langsung mengenal seluk beluk kehidupan rakyat jelata dari seorang petani Jawa bernama Trunodongso.

Pengalaman hidup tinggal bersama keluarga Trunodongso dan merasakan sendiri pergulatan mereka membawanya kepada kesimpulan: dunia harus tahu bagaimana para petani Jawa terusir dari sawahnya. Dunia harus tahu selama ini rakyat jelata mengalami ketidakadilan. Minke kemudian menuliskan kisah kehidupan Trunodongso dalam bahasa Melayu.

Sepak terjang Minke atau Tirto Adhie Soerjo dalam perannya mendirikan organisasi dan surat kabar digambarkan Pram dengan lebih gamblang dalam Jejak Langkah.

Pada buku ketiga dari Tetralogi Buru ini Minke dikisahkan mendirikan organisasi pribumi pertama di masa pergerakan nasional yaitu Sarekat Priyayi pada 1904. Tiga tahun kemudian, pada 1907, dia mendirikan surat kabar dengan nama Medan Priyayi di Bandung. Koran ini dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Dengan Medan Priyayi Minke menjadi sosok yang lebih berani terang-terangan menyatakan ketidakadilan dan kebusukan penjajah Belanda hingga dia akhirnya harus ditangkap dan diasingkan.

Di penghujung perjalanan hidupnya dalam Rumah Kaca, Minke tetap dikagumi tak hanya oleh bangsanya sendiri tapi juga oleh penjajah Belanda. Dia tetap menyatakan perlawanannya terhadap penjajah dan menyerukan kebangkitan kesadaran kepada bangsanya, seperti tertuang dalam kata-kata yang diucapkannya menjelang akhir hayat:

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka 'kemajuan' sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia."

Karya Pram ini mendapat penghargaan dari seluruh dunia dan diakui sebagai karya sastra terbaik. Karya ini sempat dibredel saat Orde Baru berkuasa karena dianggap menyebarkan paham Marxisme. Walau lagi-lagi tak jelas, mana paham Marxisme yang terdapat di buku ini.

Pram lebih dulu menerbitkan Tetralogi Buru daripada biografi asli Tirto, Sang Pemula. Karena itu orang meyakini jika sosok Tirto adalah Minke. Padahal tentu tak semua hal yang ditulis Pram dalam novelnya adalah fakta sejarah.

"Tokoh seperti Annelies itu jelas tidak ada. Minke merupakan sosok Tirto dalam benak Pram. Seorang Tirto yang bercampur antara fakta sejarah dan fantasi Pram," kata cicit Tirto, Okky Tirto yang mendalami kisah hidup leluhurnya itu.


Sumber: Merdeka.com

Tirto Adhi Soerjo, Perintis Pers Indonesia, Orang Komunis?


Tirto Adhi Soerjo, perintis pers Indonesia orang komunis?


Mungkin tak ada orang yang lebih menghormati perintis pers pribumi Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, selain sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram menuliskan biografi Tirto dalam buku 'Sang Pemula'.

Pramoedya juga menuliskan kisah hidup Tirto yang dikemas dalam bentuk novel yang dikenal dengan 'Tetralogi Buru'. Empat buku yang berjudul Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca menceritakan seorang pria bernama Minke. Minke adalah panggilan untuk TAS alias Tirto Adhi Soerjo.

Berkat Pram, sosok Tirto mulai dikenal. Tapi karena Pram pula Orde Baru menganggap Tirto adalah seorang komunis. Pramoedya adalah tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dicap sebagai organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Orde Baru. Pram juga sempat dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik.

Benarkah Tirto seorang komunis?

"Karena biografi Tirto ditulis Pramoedya maka dipukul rata saja oleh Orde Baru. Seolah-olah Tirto juga adalah seorang komunis. Apalagi Tetralogi tentang Tirto ditulis saat Pram berada di Pulau Buru," kata Iswara Noor Raditya Akbar penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan yang diterbitkan Indonesia Buku (2008).

Karena itu peran Tirto seolah tersisihkan dari sejarah.Pemerintah Indonesia baru memberikan gelar pahlawan Nasional pada tahun 2006. 100 Tahun setelah Tirto mendirikan surat kabar Medan Prijaji tahun 1906. Inilah surat kabar pertama yang dikelola pribumi dan berani mengkritisi pemerintah kolonial Belanda.

Sebelumnya Tahun 1973 pemerintahan Soeharto merasa cukup dengan memberikan gelar 'Perintis Pers Indonesia' pada Tirto.

Keluarga Tirto pun meyakini leluhur mereka bukan seorang komunis. Okky Tirto adalah keturunan Tirto yang menjadi wartawan, aktivis sekaligus pemerhati sejarah. Pada merdeka.com, dia membeberkan langkah politik Tirto.

"Paham komunis yang dibawa HFJ Sneevliet itu baru masuk sekitar tahun 1913. Sementara kalau kita lihat tahun 1913 itu Tirto sudah mengalami kemunduran. Koran-koran Tirto sudah dibredel semua dan dia dibuang ke Ambon. Jadi tentu Tirto bukan komunis, karena komunis baru muncul setelah karir politik Tirto berakhir," kata Okky.

Okky menilai Pram mengidolakan Tirto bukan karena Tirto seorang komunis. Tetapi lebih karena peran Tirto di awal kebangkitan nasional. Tirto adalah tokoh terpenting saat awal pergerakan nasional. Dia menjadikan pers sebagai bentuk perlawanan pada kolonialisme.

Secara sederhana ideologi yang digunakan Tirto adalah menyatukan semua golongan senasib. Semua dipersatukan sebagai kaum terjajah atau yang disebutnya bangsa yang terprentah. Sementara Tirto menyasar golongan menengah untuk bergerak. Dia berpendapat kelas menengah bisa mendorong perubahan.

Hal ini terlihat dari slogan surat kabar Medan Prijaji yang didirikannya. "Bagi raja-raja, bangsawan baik usul dan pikiran (kaum intelektual), priyayi, hingga saudagar yang dipersamakan dengan Anak Negeri di seluruh Hindia Belanda."

Tirto mendirikan organisasi modern pertama 'Sarikat Prijayi' tahun 1906. Dua tahun sebelum Boedi Utomo lahir tahun 1908. Sarikat Prijaji dinilai lebih mencerminkan nasionalisme karena menggunakan bahasa Melayu dan keanggotaannya bebas. Sementara Boedi Utomo berbahasa Jawa dan khusus untuk priyayi Jawa.

Sarikat Priyayi didirikan di Batavia. Organisasi awal ini bertujuan membantu para pelajar dengan menyediakan pemondokan, beasiswa dan buku-buku.

Tirto juga bergabung dengan Boedi Oetomo. Tapi dia tidak kerasan karena Boedi Oetomo lebih didominasi tokoh-tokoh tua yang tidak progresif.

Tahun 1909, Tirto mendirikan Sarikat Dagang Islamiyah (SDI). Perkumpulan ini dibuat untuk melawan monopoli pedagang China. Tirto menyebut anggota serikat ini 'Vrije Burgers' atau 'Kaum Mardika'. Mereka yang menggantungkan hidupnya bukan sebagai pegawai kolonial Hindia Belanda. Kaum Mardika ini beranggotakan masyarakat menengah yang bekerja sebagai pedagang dan petani.

Memang pada perkembangannya SDI berkembang menjadi Sarikat Islam. Kemudian beberapa tokoh Sarikat Islam terpengaruh komunis dan sehingga ada aliran SI perah dan SI putih. Tapi itu terjadi tahun 1919, saat Tirto sudah meninggal dan tak lagi mengurusi SDI sejak lama.

Tirto memang bukan komunis, tapi sejarawan Orde Baru tak pernah mengkajinya. Tanpa takaran yang jelas, enak saja cap komunis atau bukan komunis diberikan pada seseorang. Maka gelar pahlawan buat tokoh ini pun harus menunggu 100 tahun.


Sumber: Merdeka.com

Makam Tirto Kalah Terkenal dengan Anak Dewi Yull


Makam Tirto kalah terkenal dengan anak Dewi Yull 
Makam Tirto Adhi Soerjo di Bogor. 
 
 
Matahari sudah tinggi di pemakaman umum Belender, Tanah Sereal, Kota Bogor. Sejumlah penjaga makam memilih berteduh di rimbunnya pepohonan.
Saat ditanya letak makam pahlawan nasional dan perintis pers Indonesia Tirto Adhi Soerjo, mereka mengerenyitkan kening.

"Kalau pahlawan ada beberapa. Dilihat dulu saja, mungkin itu namanya," kata Ahmad kepada merdeka.com pekan lalu.

Tiga makam pahlawan itu ternyata makam pejuang. Ada tanda bambu runcing, menandakan identitas mereka. Tapi bukan Tirto.

Tiba-tiba teringat sesuatu. Anak Dewi Yull dimakamkan satu kompek dengan Tirto.

"Kalau makam Gizka Putri, anaknya Dewi Yull di mana?"

Mendengar itu mereka langsung paham. Dua orang penjaga makam mengantarkan merdeka.com ke sebuah komplek makam. Ada sekitar 22 makam di sana. Makam Tirto berada di tengahnya. Makan ini cukup mewah, rata-rata semua makam dilapisi keramik berwarna gelap.

"Kalau di sini dikenalnya makam keluarga Pak Norman Sasono. Mantan komandan Paspampres. Beliau itu ayahnya Pak Marciano Norman yang kini jadi Kepala BIN," kata salah seorang penjaga makam.

Ternyata ada penjaga makam khusus untuk komplek makam ini bernama Rohman. Rohman dipercaya keluarga Marciano Norman untuk mengurusi komplek makam ini. Ibunda Marciano Norman, Atina Norman adalah putri dari RM Priatman, anak Tirto Adhi Soerjo.

"Dewi Yull juga masih cucu RM Priatman," kata Rohman.
Di Makam Tirto tertulis RM Djokomono Tirto Adhi Soerjo, pahlawan nasional, perintis pers Indonesia dan penerima bintang mahaputra adiprana. Lahir di Blora 1875 dan meninggal di Jakarta 7 Desember 1918. Dimakamkan kembali 30 Desember 1973.

Setelah kehilangan semua surat kabar dan dikriminalisasi Belanda, Tirto kehilangan semangat hingga akhirnya tewas dalam kesepian di sebuah kamar hotel di Jl Kramat. Hanya beberapa orang yang mengantarkan Tirto ke pemakaman di Mangga Dua, Jakarta Utara. Makam itu dibongkar tahun 1973, untuk dibangun mall. Jenazah Tirto pun dipindah ke Bogor.

Rohman mengaku diberi uang Rp 200 ribu per bulan untuk menjaga dan membersihkan makam di komplek itu. Baru-baru ini dia juga mendapat tunjangan Rp 250 ribu dari Dinas Sosial sebagai penjaga makam Tirto.

"Saya baru tahu kalau almarhum Tirto ini pahlawan, setelah diangkat tahun 2006. Dulunya saya tidak tahu," kata pria kelahiran tahun 1969 itu.
Rohman mengaku tak banyak orang berziarah ke makam Tirto. Paling-paling hanya keluarga setiap mau Ramadan.

"Kalau pejabat sepertinya tidak pernah," kata Rohman.

Maka di sanalah Sang Pemula beristirahat setelah lelah membela bangsanya. Kuburnya bukan di tempat para pahlawan. Di tengah-tengah rakyat yang dulu dibelanya. Sebagai bangsa terprentah di Hindia Olanda.


Sumber: Merdeka.com

Membaca Tirto lewat Sang Pemula


Membaca Tirto lewat Sang Pemula

Hingga hari ini tak hanya di masyarakat umum, di kalangan insan pers sendiri rasanya tak banyak yang mengenal sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer boleh dibilang cukup berjasa dalam mengenalkan tokoh yang digelari Bapak Pers Nasional itu kepada khalayak melalui karya Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Jika dalam Tetralogi yang di tulisannya semasa di pengasingan Pulau Buru 1969-1979 Pramoedya menceritakan sosok Tirto dalam roman sejarah melalui kisah hidup tokoh Minke maka dalam Sang Pemula Pramoedya menggambarkan sepak terjang Tirto dalam bentuk biografi.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (TAS) lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880. Djokomono adalah nama masa kecilnya. Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda kemudian melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun TAS tak menyelesaikan sekolah dokternya lantaran dia lebih sibuk menulis di media massa.

Perjalanan nasib membawanya pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) serta Putri Hindia (1908). Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK).
Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani pribumi Indonesia asli.

Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional. Dua tahun sebelum Budi Utomo lahir TAS telah mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama bercorak modern, berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca Melayu sebagai bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 yang membuat nama TAS semakin menonjol.

Kemudian TAS mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto.

Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.

Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.

Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera selama 6 bulan.

Sekembali dari Ambon, pada 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918. Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973.

Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.

Pramoedya dalam Sang Pemula seolah ingin menyeru sekaligus menunjukkan kepada bangsa ini bahwa Indonesia pernah punya seorang pejuang berpena tajam pembela kaum tertindas yang ditakuti penjajah Belanda. Sebagaimana ditulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.

Melalui sosok TAS, Pramoedya sesungguhnya mengingatkan akan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.


Sumber: Merdeka.com

Erotisnya Kisah percintaan Para Nyai Karangan Tirto


Erotisnya kisah percintaan para nyai karangan Tirto 
 
 
Surat kabar Medan Prijaji yang diterbitkan Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo tahun 1907 tak hanya berisi kritik untuk pemerintah kolonial. Ada juga cerita-cerita roman yang dimuat bersambung. Awal abad 20, rata-rata setiap surat kabar punya cerita fiksi yang dimuat bersambung. Cerita roman yang ditulis Tirto merupakan gambaran kehidupan masa itu.

Tema soal kisah cinta para nyai dengan segala intriknya menjadi salah satu yang digemari. Masih ingat kisah Nyai Dasima yang ditulis Francis tahun 1896? Kisah legendaris itu pun berkisah seputar kehidupan nyai.

Nyai merupakan panggilan bagi wanita yang menjadi simpanan. Mereka adalah gundik yang seringkali tidak dinikahi. Bukan hanya orang Belanda yang memelihara nyai. Kebiasaan ini juga menular pada priyayi pribumi dan orang-orang kaya bumiputera.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula turut menyertakan karangan roman Tirto. Diakui memang saat itu cukup banyak bumbu seks dalam gaya penulisan roman. Tentu saat itu, bukanlah pornografi tetapi dianggap hal yang lumrah dalam masyarakat.

"Memang Tirto Adhi Soerjo seorang pencerita tentang kehidupan nyai-nyai yang semasa hidupnya merupakan golongan masyarakat yang ada, yang terlalu biasa dan diterima keberadaannya oleh umum. Cerita-cerita tentang kehidupan inter-rasial di Hindia dalam melayu lingua franca dari abad ke-19 dan sekitar abad ke-20 didominasi oleh cerita tentang nyai-nyai," kata Pramoedya.

Contoh karya roman Tirto adalah Cerita Nyai Ratna yang dimuat bersambung dalam Medan Prijaji tahun 1909. Mengisahkan Ratna, seorang istri setia yang disia-siakan suaminya untuk menikahi wanita yang lebih kaya.

Ratna kemudian menjadi gundik seorang pelaut. Saat itulah dia juga memadu kasih dengan seorang siswa sekolah dokter STOVIA bernama Sambodo.

Ratna kemudian ikut tuannya ke Semarang, lalu pindah dari pelukan satu pria ke pria lain. Hingga akhirnya dia memikat seorang pria kaya bernama Van Braak yang menikahinya. Walau sudah menjadi nyonya, Ratna belum puas. Dia memadu kasih dengan Karel dan akhirnya membunuh Van Braak untuk mendapatkan kekayaannya.

Lalu ada cerita Membeli Bini Orang yang dimuat tahun 1909. Tirto mengangkat cerita ini dari kisah nyata di Jawa Barat.

Ceritanya ada seorang rentenir keturunan Indo Belanda, Acte yang ngebet ingin merebut istri Haji Idris yang bernama Enceh. Acte menggunakan segala cara untuk merebut Enceh. Apalagi Enceh pun tak menolak ajakan Acte untuk mengkhianati suaminya.

Akhirnya Haji Idris terlilit hutang f 500 dan diperdaya. Sebagai pengganti hutang, Acte meminta Haji Idris menyerahkan istrinya. Enceh pun jatuh ke pelukan Acte.

Tapi ternyata Enceh memang perempuan gatal. Setelah jadi istri Acte, dia malah main gila dengan beberapa pria. Acte yang kini berada dalam kekuasaan Enceh tak bisa berbuat apa-apa selain menanggung malu.

Lalu ada cerita Busono yang terbit tahun 1912 dan tidak tamat karena pada tahun yang sama Medan Prijaji dibredel. Cerita Busono merupakan semi otobiografi Tirto.

Satu hal yang disoroti Tirto adalah kebiasaan siswa Stovia main-main dengan nyai. Para calon dokter muda ini menjadi piaraan para nyai yang akan menghadiahi mereka dengan uang, makanan dan juga seks. Di sela-sela pengajaran yang membuat pusing, hubungan para pemuda ini dengan para nyai menjadi hiburan tersendiri.

Sayangnya tak semua karya fiksi Tirto dalam buku Pramoedya ini lengkap. Pram sendiri mengaku ada bagian-bagian yang hilang. Padahal selain berita-berita, karya roman Tirto juga penting untuk mengetahui keadaan sosial budaya di Hindia Belanda awal abad 20.


Sumber: Merdeka.com

Tirto, Sang Pemula yang Menggerakkan Bangsa Melalui Tulisan

Tirto, sang pemula yang menggerakkan bangsa melalui tulisan
Dalam buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, karya Takashi Shiraishi menyebut Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo sebagai bumi putera pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Disertasi Takashi Shiraishi itu juga menyebutkan kepiawaian dan ketajaman pikiran Tirto dalam setiap tulisannya. Takeshi menyebutnya sebagai perintis model perjuangan nasional modern, yakni lewat tulisan di koran dan organisasi.

Sedangkan menurut Iswara Noor Raditya Akbar penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan yang diterbitkan Indonesia Buku (2008) mengatakan, karir jurnalistik Tirto mulanya dimulai sebagai penulis lepas surat kabar Chabar Hindia Olanda, di Batavia yang terbit dalam kurun 1888-1897.

Chabar Hindia Olanda akhirnya bangkrut hingga Tirto pindah ke surat kabar terbitan berkala Pemberita Betawi yang juga terbit di Batavia. Dalam saat yang bersamaan, Tirto sempat menjadi penulis tetap dalam surat kabar Pewarta Priangan yang terbit di Bandung. Sampai Pewarta Priangan berhenti terbit akhirnya Tirto kembali ke Pemberita Betawi sebagai redaktur sejak 1902.

Menurut Iswara, Pemberita Betawi banyak mengangkat peristiwa yang menyangkut penderitaan rakyat Bumiputera. Dalam pandangan Iswara, Tirto menganggap jurnalis adalah pengawal pikiran umum. Setelah sekitar setahun di Pemberita Betawi, cakrawala pemikiran Tirto akan tanah kolonial semakin luas. Tirto saat itu sudah bisa menyimpulkan akan pola-pola penjajah di Hindia Belanda.

Bagi Tirto, ada dua golongan di Hindia Belanda, yakni golongan yang memerintah dan terprentah. Dalam kondisi seperti itu, golongan yang sering mendapat penindasan adalah golongan yang diperintah.

Dalam pandangan Iswara, saat itu Tirto sudah mulai melihat peluang pers sebagai alat perlawanan dan langkah awalnya harus memiliki penerbitan sendiri.

Tirto mendirikan koran sendiri dengan nama Soenda Berita yang terbit di Cianjur pada 7 Februari 1903. Dalam pendanaan Soenda Berita dibantu oleh Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja.

Dalam riset Iswara terhadap koran itu, tulisan Tirto memasuki berbagi sektor kehidupan. Kehidupan sehari-hari dijadikan bahan tulisan sekaligus untuk pencerahan nalar, mulai dari masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, ilmu pengetahuan.

Sastra juga dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengkritik pemerintahan. Salah satunya dengan menuliskan cerita pendek atau pewayangan diselipkan sindiran terhadap pejabat yang menindas. Tidak sampai di situ, saking bebasnya tema di koran itu, Soenda Berita juga menghadirkan tema keluarga, resep makanan, tips menjahit hingga menyulam dan urusan rumah tangga lainnya. Cukup banyak kalangan elite yang berlangganan Soenda Berita.

"Berpuluh bupati di Jawa dan Madura, berpuluh, ya beratus patih, jaksa-kepala, jaksa dan pembantunya, wedana dan asisten wedana, para hartawan Cina, tuan-tuan yang ternama ....," tulis Iswara dalam bukunya.

Meski dengan cara itu Soenda Berita tidak berjalan mulus dalam hitungan bisnis. Setelah sembilan bulan, Soenda Berita berhenti terbit selama tiga bulan akibat kesulitan keuangan karena banyak pelanggan yang menunggak. Meski begitu Tirto bukanlah tipikal sosok yang mudah yang menyerah.

Tirto memahami kerugian dari penerbitan pers yang didirikannya. Dia sepenuhnya sadar resiko menuruti idealismenya sebagai koran yang terus menyuarakan dan memajukan suara anak bangsa yang terprentah. Hingga akhirnya Soenda Berita bertahan hingga tiga tahun. Meski merugi, nama Tirto sudah kadung melambung tinggi melalui Soenda Berita.

Saat Soenda berita mengalami kerugian, Tirto Adhi Soerjo melakukan perjalanan panjang ke berbagai daerah. Iswara mencatat, Tirto juga menemui para raja-raja di Jawa dan Madura, juga menyambangi Maluku dan menemui Sultan Bacan, penguasa Pulau Bacan. Perjalanan itu berlangsung dalam kurun 1905-1906.

Setelah melakukan perjalanan dan kembali ke Jawa, Tirto memboyong Putri Fatimah, Putri Sultan Bacan sebagai istrinya. Dari sinilah Tirto kembali bangkit dengan modal yang didapatkan setelah melakukan perjalanan untuk menerbitkan koran lagi.

Iswara menuturkan, setelah Soenda Berita tidak terbit lagi, akhirnya Tirto menerbitkan koran baru yang dinamai Medan Prijaji. Koran itu terbit pada 1 Januari 1907. Awal kemunculan koran itu mulanya terbit mingguan dan koran itu sangat istimewa bagi Tirto dalam kelanjutan.

Melalui Medan Prijaji, Tirto tidak main-main akan arah pemberitaan medianya. Bila Soenda Berita seperti kumpulan kegelisahan intelektualnya atas segala bidang kehidupan, maka Medan Prijaji diposisikan penjaga suara anak negeri. Menurut Iswara Medan Prijaji adalah medan sesungguhnya Tirto untuk pembela mereka yang tertindas.

Pemberitaannya tidak main-main. Medan Prijaji memberlakukan pelaporan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh aparat kolonial atau pihak lain. Jika sudah ada yang melapor, Tirto akan segera menindaklanjuti laporan itu dengan mencari tahu masalah dengan langsung turun ke bawah untuk mengumpulkan data dan informasi. Sampai pada tulisannya Tirto langsung menunjuk siapa pihak yang menindas.

Tidak sampai di situ, bersama Medan Prijaji, Tirto memiliki badan perlindungan hukum yang selalu siaga untuk melakukan pembelaan bila kasus-kasus itu sampai ke pengadilan.

Setelah terbitnya Medan Prijaji, tak lama kemudian, Tirto kembali juga menerbitkan Soeloeh Keadilan. Kemudian pada 1908 Medan Prijaji sudah berbentuk perusahaan dagang berbadan hukum dengan nama Naamloze Vennotschap (NV) Medan Prijaji.

Semakin pesatnya perkembangan bisnis medianya, Tirto tidak melupakan cita-citanya untuk membela yang tertindas. Kali ini ranahnya lebih spesifik untuk gerakan emansipasi wanita dengan menerbitkan Poetri Hindia. Poetri Hindia dikelola oleh kaum perempuan dalam keredaksiannya saat itu.


Sumber: Merdeka.com

Tatang "Pulang Kampung" ke Singaparna



KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Tatang Farhanul Hakim 
 
TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Calon Wakil Gubernur Jawa Barat nomor urut dua Tatang Farhanul Hakim, pada Minggu (10/2/2013) besok akan menggelar kampanye di wilayah Jawa Barat Selatan, tepatnya di kampung halamannya, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.

"Pak Tatang akan berkampanye di Kabupaten Tasikmalaya besok. Soalnya kan wilayah Jawa Barat Selatan dibagi lima daerah, yaitu kabupaten/kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Garut," terang salah seorang tim sukses Yance-Tatang, sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Tasikmalay Dede T Widarsih, melalui sambungan telepon, Sabtu (9/2/2013).

Dede mengatakan, Tatang dijadwalkan akan berkunjung ke Pasar Singaparna pada pagi hari, kemudian dilanjutkan akan bertemu tokoh masyarakat di Mangunreja dan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. "Sampai tengah malam besok, Tatang akan berkampanye di Tasikmalaya. Soalnya, waktu kampanye kan sampai tengah malam," terang Dede.

Dede berharap dengan kampanye Tatang di Tasikmalaya, akan mampu mendongkrak suara di kampung halaman sendiri. Terlebih, Tatang yang juga mantan Bupati Tasikmalaya itu telah dikenal oleh masyarakat Tasik.

"Sengaja ini mengingatkan kembali masyarakat ke pak Tatang. Jadi, kampanye dilaksanakan di Tasik dulu," ungkap Dede.

Calon wakil gubernur Tatang berpasangan dengan calon gubernur Irianto MS Syafiuddin alias Yance yang diusung Partai Golkar. Pasangan Yance-Tatang bernomor urut dua dalam perhelatan pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2013.


Sumber: Kompas.com

Kampanye, Dede Yusuf Gelar Pengobatan Gratis


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf
 
 
BANDUNG, KOMPAS.com - Calon Gubernur nomor urut tiga Dede Yusuf menggelar kegiatan pengobatan gratis dan gerak jalan di kawasan Lembang Kabupaten Bandung Raya, Sabtu (9/2/2013).

Dede yang berpasangan dengan Leks Laksamana, menyambangi warga di Desa Mangunharja, dalam kegiatan gerak jalan yang dilanjutkan dengan pengobatan bagi warga di kawasan itu. Kawasan Cisarua, juga menjadi salah satu daerah kampanye Dede pada hari ketiga kampanye Pilkada Jabar itu.

Selanjutnya, Dede yang saat ini menjalani cuti sebagai Wakil Gubernur Jabar itu juga melakukan kunjungan dan bersilarutahmi dengan warga di Kota Cimahi.  Cimahi Utara dan Cimahi Tengah menjadi salah satu target sosialisasi calon gubernur yang diusung Partai Demokrat, PAN dan Gerindra.

Di Kota Cimahi, Dede mengunjungi para pedagang dan warga yang tengah berbelanja di Pasar Antri. Sedangkan sore hari, Dede Yusuf akan berdialog dengan para pedagang di Pasar Baru Kota Bandung.

Sedangkan wakilnya Leks Laksamana yang sejak pagi menyisir kawasan Kabupaten Bandung juga akan menggelar dialog dan pertemuan di Pasar Induk Gedebage Kota Bandung.


Sumber: Kompas.com

Ke Sukabumi, Yance Temui Bobotoh Persib


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Calon gubernur, Irianto MS Syafiuddin alias Yance, menyalami warga dalam kampanyenya di Situ Cileunca, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/2/2013). Dalam hari pertama kampanye Pilkada Jabar 2013, Yance mengunjungi sejumlah tempat seperti Baleendah, Alun-alun dan Pasar Pangalengan, serta Situ Cileunca. 
 
 
BANDUNG, KOMPAS.com - Calon Gubernur Jawa Barat yang diusung Partai Golkar Irianto MS Syafiuddin atau yang biasa disapa Yance menggelar silaturahmi dengan bobotoh Persib yang ada di Sukabumi, pada hari ketiga kampanye Pilkada Jabar 2013, Sabtu (9/2/2013).

Yance dan pasangannya Tatang Farhanul Hakim menyisir kawasan Sukabumi, Cianjur dalam rangka sosialisasi pencalonannya dalam Pilkada Jabar 2013. Bobotoh Persib di Sukabumi merupakan salah satu elemen masyarakat yang menjadi bidikan Yance, karena jumlah dan fanatismenya dinilai tinggi.

Selain itu, mantan Bupati Indramayu ini  juga akan melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat Sukabumi. Selain itu, dia bakal menjambangi pabrik garmen di Cicurug Sukabumi, serta menyapa warga dan pedagang di kawasan Cicurug.

Untuk memperkuat sosialisasi dan koordinasi pendukungnya, Yance akab meresmikan Posko Intan (Irianto - Tatang) di Cibadak Sukabumi. Selain  juga mengujungi RSUD Sekarwangi Cibadak. 

Sehari sebelumnya, Yance - Tatang melakukan kampanye di wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.


Sumber: Kompas.com

Heryawan dan Deddy Mizwar Kampanye di Kereta Api



Ahmad Heryawan/GANI KURNIAWAN

 
BANDUNG, KOMPAS.com - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jabar Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar melakukan kampanye di dalam kereta api yang membawa keduanya dari daerah Jakarta menuju Cirebon, Jawa Barat, di hari ketiga masa kampanye Pilgub Jabar 2013, Sabtu (9/2/2013).

Di dalam Kereta Api Cirebon Ekpress ini, pasangan yang diusung oleh PKS, Partai Hanura, PPP dan PBB menyapa para penumpang yang ada di gerbong kereta nomor empat, tiga dan dua. Saat di dalam gerbong kereta api nomor tiga, Ahmad Heryawan yang didampingi oleh istrinya Netty Presetyani mengajak para penumpang kereta api untuk memilihnya. "Jangan lupa nomor empat ya ibu-ibu dan bapak-bapak pas tanggal 24 Februari," kata Heryawan.

Didatangi oleh calon orang nomor satu dan dua di Provinsi Jawa Barat, para penumpang khususnya kaum ibu meminta Heryawan untuk berfoto bersama.

Sementara itu, calon wakil gubernur Jabar Deddy Mizwar mengatakan kampanye di kereta api merupakan kampanye yang paling hati-hati ia lakukan. "Kesannya kampanye di kereta api itu adalah kampanye paling simpati dan senyap. Artinya harus sangat hati-hati karena ini kan pagi hari. Banyak orang atau penumpang yang masih tidur di gerbong," kata Deddy.

Deddy memastikan, kampanye simpati tersebut tidak mengganggu kenyamanan penumpang kereta api. Tak kalah dengan Ahmad Heryawan, para penumpang kereta api juga banyak yang meminta untuk foto bersama dengan "Jenderal Nagabonar".

Usai melakukan kampanye di kereta api, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar bersama istrinya memesan makanan dan sarapan pagi bersama di dalam kereta.


Sumber: Kompas.com

Rieke Janjikan Orang Miskin Bisa Masuk RS dan Kuliah


Kompas.com/Robertus Belarminus
Rapat Konsolidasi Nasional PDI P terkait Pilgub Jawa Barat yang mengusung Rieke Diah Pitaloka selaku Calon Gubernur Jawa Barat beserta Teten Masduki selaku Calon Wakil Gubernur Jawa Barat di Kantor PDI P di Lenteng Agung, Jakarta. Senin (4/2/2013)


JAKARTA, KOMPAS.com — Calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat periode 2013-2018, Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, meluncurkan kartu "Jabar Bangkit" untuk menyongsong pembangunan Jawa Barat. Rieke mengatakan, kartu itu dapat difungsikan untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan rakyat miskin di Jawa Barat.

"Intinya, tidak ada lagi orang miskin yang tak bisa masuk rumah, tidak ada orang miskin yang ditolak rumah sakit," kata Rieke pada debat kandidat di Metro TV, Jakarta, Jumat (8/2/2013) malam.

Menurutnya, pendataan terhadap warga mampu dan tidak mampu di Jawa Barat harus dilakukan secara akurat. Hal ini perlu supaya tidak terjadi kesalahan pemberian kartu, di mana warga mampu justru mendapatkan kartu, sementara warga tidak mampu tidak mendapatkannya. Rieke menyatakan, kartu tersebut juga perlu disertai nomor identitas agar tidak tertukar dan disalahgunakan oleh orang lain.

Kartu yang sama juga berlaku untuk pemberdayaan pendidikan. Rieke berharap, dengan kartu tersebut, tak ada lagi siswa-siswi putus sekolah karena terjebak kemiskinan. Para pelajar tersebut juga dibekali keterampilan serta disalurkan ke industri yang membutuhkan tenaga kerja di Jawa Barat.

Rieke menyebutkan, anggaran untuk pendidikan dan kesehatan rakyat itu akan menggunakan dana APBD dan APBN karena tidak ada yang gratis dalam program pemerintah. "Anggarannya dari mana? Tidak ada yang gratis dalam program pemerintah. Dananya akan dibiayai oleh APBD dan APBN. Kembalikan uang rakyat kepada rakyat juga, tidak boleh ada korupsi, pasti bisa jalan," ujarnya.


Sumber: Kompas.com

Yance Tarik Massa Lewat Jalan Santai


KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Irianto MS Syafiuddin (kiri) dan Tatang Farhanul Hakim


BANDUNG, KOMPAS.com- Pasangan calon gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Irianto MS Syafiuddin dan Tatang Farhanul Hakim, Jumat (8/2/2013), menggelar kampanye terbuka di Situ Cileunca, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Untuk simpati massa menghadiri kampanyenya, mereka mengadakan acara jalan santai. Beragam hadiah menarik pun disediakan untuk merangsang antusias masyarakat.

Hasilnya, ratusan warga dari berbagai desa di Pangalengan memenuhi kawasan wisata Situ Cileunca. Salah satunya Een (46) yang datang jauh-jauh dari Babakan Kiara di Kab Bandung.

"Satu rombongan babarengan sama ibu-ibu. Tadi ke sini naik truk untuk ikut acara jalan santai biar sehat dan dapat hadiah," ujar perempuan yang akhirnya pulang tanpa hadiah ini.

Irianto atau yang lebih dikenal dengan panggilan Yance mengatakan, hari ini jadwal dia berkampanye di zona Jabar Tengah yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang. "Saya pilih kampanye di sini karena daerah terpencil," katanya.


Sumber: Kompas.com

Ahmad Heryawan Jadi Imam di Bekasi



Kompas/Muhammad Hilmi Faiq
Cgubernur Ahmad Heryawan salat sunah setelah menjadi khatib dan imam di Masjid Jami An Nur Cikarang, Bekasi, Jumat (8/2/2013).


BEKASI, KOMPAS.com - Calon gubernur Ahmad Heryawan bertindak sebagai khatib dan imam di Masjid Jami An Nur Cikarang, Bekasi, Jumat (8/2/ 2013), setelah berkampanye di pasar dan jalan. Saat berkhotbah, Heryawan mengajak jemaah untuk hidup lurus dan seimbang.

Heryawan dalam khotbahnya mengatakan, hidup jangan sampai terjebak dalam kebutuhan duniawi. Manusia juga harus menimbang aspek ketuhanan, hubungan vertikal kepada Sang Pencipta. "Hidup harus jujur dan saling menghargai, " kata Heryawan dalam khotbahnya.

Seusai salat jumat, Heryawan melayani wawancara beberapa wartawan televisi. Dia kemudian bertolak ke Jakarta untuk menghadiri dialog publik di salah satu stasiun televisi.

Anggota Panitia Pengawas Pemilu Cikarang M Mansur mengatakan, tidak ada pelanggaran kampanye yang dilakukan Heryawan meskipin dia masuk tempat ibadah di waktu kampanye. Sebab, tidak ada ajakan untuk melihatnya saat Heryawan berkhotbah.


Sumber: Kompas.com

Yance Janjikan Bantuan Rp 500 Juta Per Tahun



Irianto MS Syafiuddin/KRISTIANTO PURNOMO
BANDUNG, KOMPAS.com - Calon Gubernur Jawa Barat nomor urut 2, Irianto MS Syafiuddin menjanjikan bantuan desa senilai Rp500 juta per tahun untuk membangun dan memberdayakan masyarakat desa.

"Desa sudah saatnya mendapatkan anggaran yang memadai untuk membangun, dan bila saya jadi gubernur nanti akan mengalokasikan bantuan desa Rp500 juta per desa per tahun," kata Irianto MSSyafiuddin yang akrab disapa Yance di sela-sela kampanye di kawasan Situ Cileunca,Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jumat (8/2/2013).

Yance juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat desa Jabar yang dinilainya gigih dalam mendukung pembangunan di Jawa Barat. Menurut Yance, desa membutuhkan anggaran lebih besar untuk menggulirkan program pembangunan, sehingga peningkatan bantuan desa itu sangat riil. "Saya sudah menganggarkan dan sangat memungkinkan output pembangunan desa akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat," kata Yance.

Yance yang adalah mantan Bupati Indramayu itu menyatakan komitmennya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan mengusung potensi di daerah masing-masing. "Pemerataan kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, termasuk di pedesaan, termasuk bantuan desa Rp500 juta juga untuk pembangunan desa dan mengurangi urbanisasi," kata Yance.

Lebih jauh Yance mengaku akan membagikan Kartu Sehat yang menjadi kartu berobat gratis di seluruh Puskesmas di Jawa Barat, begitu kemenangan di Pilkada 2014. "Kartu sehat dan kartu pintar akan diserahkan begitu ada keputusan hasil Pilkada yang digelar 24 Februari nanti." kata dia.

Pada kampanye pertamanya di daerah pemilihan II di Kabupaten Bandung ini, Yance menyerahkan bantuan untuk petani sapi, jompo serta berkumpul dengan warga Pangalengan dalam kegiatan jalan sehat. Pada kesempatan itu, pasangan Yance dan Tatang Farhanul Hakim mendapat penyataan sikap dukungan dari Ormas BBC Kabupaten Bandung.

Sebelumnya, Yance yang didampingi istrinya Anna Irianto yang juga Bupati Indramayu juga melakukan kunjungan ke Rumah Susun Baleendah dan Pasar Pangalengan Kabupaten Bandung.


Sumber: Kompas.com

Kampanye di Bekasi, Aher Tolak Permintaan "Amplop"



Ahmad Heryawan /GANI KURNIAWAN



BEKASI, KOMPAS.com — Calon gubernur petahana Jawa Barat Ahmad Heryawan menolak permintaan "amplop" dari warga saat melakukan kampanye Pilgub Jabar 2013 di Pasar Sentara Niaga H Abdul Malik, Kabupaten Bekasi, Jabar, Jumat (8/2/2013).

"Amplop, money politic, nggak boleh Ibu-ibu, bapak-bapak. Mending program komitmen saya," kata Ahmad Heryawan saat menanggapi permintaan beberapa warga.

Heryawan mengatakan, memberikan uang merupakan pelanggaran aturan kampanye yang ditetapkan oleh KPU dan Panwaslu Jawa Barat soal politik uang. "Saya ngasih uang jatuhnya money politic dong, bisa kena sanksi dan semprot dari Panwas. Bisa jadi pelanggaran pilkada kan," ujar dia.

Aher—demikian ia biasa disapa—mengaku mencoba untuk memberikan pemahaman kepada semua masyarakat Jawa Barat bahwa dia hanya akan memberikan program-program prorakyat. "Makanya, saya harus pahamkan tadi, Bapak-bapak, Ibu-ibu nggak boleh beri-beri uang kayak gitu. Pemerintah bukan ngasih uang kayak itu, tapi ngasih program," kata Aher.

Menurut Aher, pemberian program yang diusung dalam visi misinya jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan memberikan sejumlah uang. "Kan kalau kita ngasih program SD gratis. Semua anak berarti dapat Rp 500 ribu per tahun. Mendingan itu kan biayanya gede," kata dia.


 Sumber: Kompas.com

Yance Sisir Kawasan Bandung Selatan



KRISTIANTO PURNOMO
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Irianto MS Syafiuddin (kiri) dan Tatang Farhanul Hakim

 
 
BANDUNG, KOMPAS.com - Calon Gubernur Jawa Barat nomor urut dua Irianto MS Syafiuddin atau Yance, dan pasangannya Tatang Farhanul Hakim menyisir kawasan Bandung selatan pada hari kedua kampanye Pilkada Jabar 2013, Jumat (8/2/2013).

Pasangan Yance-Tatang menemui warga yang tinggal di rumah susuk di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, dan melakukan dialog dengan penghuni rusun di lokasi itu.  Selanjutnya, Yance akan menerima kirab panji Golkar dan pelepasan gerak jalan masyarakat dan drum band di kawasan alun-alun Pangalengan.

Yance yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jabar dan mantan Bupati Indramayu itu dijadwalkan berkunjung dan berdialog dengan para pedagang serta pembeli di Pasar Pangalengan. Khitanan massal dan bakti sosial juga pemberian bantuan kepada peternak sapi, jompo dan yatim piatu akan dilakukan pula oleh Yance.

Pasangan Yance-Tatang mengusung motto "Intan dan Jabar Mulia" merupakan duet mantan bupati. Irianto mantan Bupati Indramayu sedangkan Tatang Farhanul Hakim mantan Bupati Tasikmalaya.


Sumber: Kompas.com