Senin, 11 Februari 2013

Jurnalis Berani dalam Cengkraman Intelijen Belanda


Jurnalis berani dalam cengkraman intelijen Belanda
Tirto Adhie Soerjo. 



Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo sadar betul menggunakan media sebagai corong suara rakyat. Dalam kondisi terjajah dia tidak gentar dengan resiko yang dihadapi atas tulisannya. Mulai dari dibuang, diasingkan, hingga dimiskinkan, hingga dalam pemakamannya tanpa iringan dan pemberitaan besar.

Menurut Iswara Noor Raditya Akbar penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, yang diterbitkan Indonesia Buku (2008), apa yang dilakukan Tirto melalui kritik dan pemberitaan-pemberitaannya yang membuat merah kuping pejabat kolonial dilakukan dengan sadar.

Iswara mencontohkan yang dikutipkan dari bukunya, pada November 1902, melalui Pembrita Betawi, Tirto menggilas persekongkolan pejabat di Madiun. JJ Donner, Residen Madiun, merasa terganggu dengan Brotodiningrat, Bupati Madiun yang membuat keinginan tidak terpenuhi. Akhirnya Donner berkonspirasi membuat laporan palsu untuk melengserkannya. Donner bekerjasama dengan Mangoen Atmodjo, Patih Madiun dan Jaksa Kepala Madiun Adipoetro.

"Tirto tidak tinggal diam, lantas mengumpulkan data tentang ketidakbenaran laporan Donner. Kepalan tulisan Tirto di Pembrita Betawi muncul secara kontinyu dari April hingga Agustus 1902," tulis Iswara dalam bukunya.

Dalam kelanjutan pemberitaan itu ternyata mendapat perhatian publik. Tidak sampai di situ, pemerintah kolonial juga serius mengikuti pemberitaan itu. Bahkan dalam riset Iswara, pemerintah kolonial sampai perlu untuk menurunkan petugas khusus bagian Penasihat Urusan Bumiputera, Snouck Hurgronje, untuk kembali memeriksa kasus itu.

Dalam penjelasan Iswara, setelah kasus itu diperiksa kembali, ternyata data-data pemberitaan Tirto tidak ada yang salah. Sampai akhirnya pemerintah kolonial mengklarifikasi keputusan, bahwa Brotodiningrat adalah korban salah tafsir. Dengan akurasi pemberitaan atas kasus itu nama Tirto mencuat sebagai pewarta yang berani.

Dengan reputasi dan keberanian ditambah dengan kemampuannya dalam menulis membuatnya bisa dekat dengan siapa saja, termasuk dengan pejabat kolonial sendiri. Bahkan Tirto akrab dengan Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz yang memerintah pada 1904-1909.

Berteman dengan orang nomor satu di Hindia Belanda tentu memiliki keistimewaan tersendiri. Menurut Okky Tirto, salah satu cicit Tirto menjelaskan, dengan keistimewaan itu Tirto dengan bebas keluar masuk Gedung Bola (Societeit de Harmonie), tempat hiburan favorit pejabat kolonial kala itu.

"Gedung Bola itu tempat main biliar, tidak sembarang orang bisa masuk saat itu. Gedungnya yang menjadi kantor sekretariat negara," kata Okky saat ditemui merdeka.com pada Rabu (06/2) malam.

Okky yang membahas juga Medan Prijaji dalam skripsinya di program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta menilai kedekatan itu Tirto dengan van Heutsz karena keduanya sama-sama pencinta ilmu pengetahuan terutama dengan kemunculan renaisans atau modernisme di Eropa.

Van Heutsz tidak lama menjabat di Hindia Belanda. Setelah masa jabatan selesai dia digantikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Sosok yang kemudian jengah dengan pemberitaan-pemberitaan Tirto melalui Medan Prijaji dan media lainnya. Bahkan saking takutnya Idenburg perlu memerintahkan intelijen khusus untuk mengawasi Tirto.

Dalam catatan Iswara, pemerintah kolonial di masa Idenburg seperti ekstra dalam mengawasi gerak gerik Tirto. Staf khusus yang terus mengawasi Tirto adalah Rinkes, seorang staf khusus penasihat urusan bumiputera yang pernah dijabat Snouck Hurgronje. Hal yang berbeda dari penugasan Rinkes dengan Snouck Hugronje adalah, Rinkes hanya ditugaskan secara khusus menangani Tirto sedangkan Snouck mengawasi masyarakat Aceh.

Setelah melalui berbagai cara dilakukan pejabat kolonial melalui Rinkes, akhirnya Tirto berhasil dibungkam dengan cara difitnah dan dibawa ke pengadilan. Kemudian setelah itu dibuang ke Ambon. Iswara mencatat, pada awal 1914, Tirto kembali ke Batavia, namun dalam kondisi dikontrol dan ditumbangkan.

Okky juga selaras dengan isi riset dalam buku Iswara, setelah dibuang Tirto dibungkam dengan berbagai cara. Mulai dimiskinkan dengan mengambil semua aset-aset perusahaannya dan tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa pun.

"Hotel Medan Prijaji miliknya sendiri pun diambil orang lain dan dia dikurung dalam salah satu kamar di dalamnya, bisa dibayangkan bagaimana kondisi orang seperti itu," ujar Okky lebih lanjut.

Dalam menjelaskan penumbangan mental Tirto itu, Okky menjelaskannya seperti Bung Karno yang disekap dalam rumahnya dan tidak bisa ditemui siapa pun, bahkan oleh keluarganya sekali pun. Selain itu Okky memberitahukan lokasi hotel milik Tirto saat itu adalah yang sekarang menjadi kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Pada 7 Desember 1918, dalam catatan Iswara dan Muhidin M Dahlan dalam epilog buku itu menyebutkan, hanya iringan kecil mengantarkan jasad Tirto menuju pemakamannya di daerah Mangga Dua. Tidak ada pidato sambutan atau pemberitaan besar seperti yang dia lakukan dalam hari pemakamannya.

Baru pada 1973 pemerintah Orde Baru menganugerahinya gelar sebagai perintis pers Indonesia. Kemudian pada 2007 kembali ditegaskan Tirto sebagai pahlawan nasional. Kini pusara makamnya berada di kawasan Belender Bogor.


Sumber: Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar