Senin, 11 Februari 2013

Menengok Sisa-sisa Kejayaan Medan Prijaji di Bandung


Menengok sisa-sisa kejayaan Medan Prijaji di Bandung 
Kantor Medan Prijaji kini. 


Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) merupakan sebuah bangunan bersejarah di kota Bandung. Berletak di Jalan Naripan nomor 7 Bandung, Gedung yang didominasi warna merah muda ini berfungsi sebagai tempat pergelaran pertunjukan seni dan budaya.

Dari masa ke masanya bangunan seluas 2000 meter persegi ini tidak pernah sepi dari aktivitas. Siapa menyangka, Gedung yang dibangun pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ini adalah cikal bakal keberadaan surat kabar pribumi.

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo pelakunya. Dengan bermodalkan bakat jurnalistik yang luar biasa Tirto mendirikan media 'Medan Prijaji' pada 1907 sebagai surat kabar nasional pertama dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi.

Tirto juga mendirikan soeoleoh keadilan dan putri hindia (1909). Media masa saat penjajahan kolonial umumnya mengutip berita politik pemerintah dari koran Belanda atau akrab disapa 'pers putih', namun tidak dengan media Tirto.

Dengan bakatnya dan jaringan yang cukup baik, medianya kala itu mengkritisi dan kebijakan kolonial yang semena-mena. Seperti memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi. Hal itulah yang dianggap bahaya oleh pemerintah Belanda.

Akibatnya Tirto kerap diteror bahkan mendapat hukuman. Pada 1912 Medan Prijaji runtuh.
Gedung tersebut tak semata melupakan sejarah Tirto yang memperjuangkan propaganda kepentingan bangsa.

Paling tidak hingga 1980 gedung yang sudah dijadikan bangunan cagar budaya ini masih kental dengan jurnalistik. Meski pada perkembangannya sempat juga berfungsi sebagai gedung Balai Pertemuan yang bernama Ons Genoegen.

"Dulu waktu saya masih belajar nari, akhir 1970 an masih banyak wartawan yang datang atau sebatas sharing sambil membawa mesin tik," kata staf YPK Lenni Mulyawati.

Namun itu tidak berlangsung hingga dewasa ini. Gedung YPK kini murni menjadi gedung pusat kebudayaan dan kesenian. Aktivitasnya hanya digunakan untuk para perupa.

Penelusuran merdeka.com, gedung yang memiliki luas tanah 2.955 m2 itu masih tampak kokoh. Kontur bangunan tampak asli. Lekukan dari ruang ke ruang mirip bangunan zaman Belanda.

Saat hendak masuk di muka atas bertuliskan Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, menjajakan langkah pertama kita langsung dipertemukan dengan aula besar, yang biasanya digunakan aktifitas latihan menari, kecapian, atau pameran. Ada juga aula besar satunya lagi, ini digunakan untuk pertunjukan.

"Karena ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga apapun jika ingin diperbaiki tidak boleh merubah bentuk aslinya," ujarnya.

Semula kata dia, gedung tak miliki pembatas, namun kini disekat untuk dijadikan ruangan per ruangan. Fungsinya untuk kebutuhan pengelola. "Ada ruangan untuk ketua, sekretaris dan ruangan lainnya," ujarnya.

Status Gedung YPK ini sekarang adalah milik negara, tapi hak penghunian adalah YPK. Sejak ditetapkan sebagai gedung kesenian pada 1949, gedung ini banyak menelurkan para seniman berprestasi.

Tidak sedikit seniman 'berumah' di YPK menunjukkan prestasi, seperti Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya.

Pembenahan demi pembenahan dilakukan. Maklum gedung ini sudah cukup tua. Tahun 1976 penataan kembali ditingkatkan, secara bertahap dengan dana seadanya pengelola tak mau gedung ini terbengkalai.

Tidak sedikit dana yang dikeluarkan itu berasal dari kantong para aktivis pengurus YPK. Perjuangan paling berat adalah ketika memperjuangkan ruangan-ruangan yang akan dipergunakan oleh badan-badan lain agar tetap dipertahankan.

Dengan lokasi strategis di Kota Bandung, banyak yang ingin meruntuhkan gedung ini. Ada yang menginginkan untuk merubah jadi apartemen dan fungsi komersil lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar